22 Feb 2012

TEGAKAH MAKAN SAUDARA KITA


Saudara? Pasti banyak orang protes jika mereka disamakan dengan monyet atau kera. Padahal kita ini sama-sama bangsa primata (alias bangsanya monyet atau kera), dengan struktur tubuh dan prilaku yang mirip, hanya dibedakan oleh volume otak dan bulu-bulu. Coba saja kalau kita (manusia) bermukim di tepi hutan yang banyak terdapat beruk (Macaca nemestrina) atau kera ekor panjangnya (Macaca fascicularis), maka si monyet tersebut akan banyak meniru perilaku manusia.. Sebagai contoh menyolong pakaian yang dijemur oleh penduduk lalu memakainya, ikut menonton pertandingan bola dan meramaikan dengan tepuk tangan dan canda mereka atau mereka berfikir untuk menjahili kita seperti memakai kaca mata yang kita pakai lalu dipakainya. Jadi siapa bilang kalau satwa itu hanya bertingkah sesuai naluri bukan pikirannya, apalagi untuk bangsa monyet dan kera, mereka menggunakan juga pikirannya.

Menjadi Santapan

Banyak dari kita yang menyukai primata walaupun kadang dengan cara yang salah, misalnya mengambil dari habitat dan keluarganya dan mengurungnya dalam kandang hingga kemerdekaannya terenggut. Tetapi sesalah-salahnya kita menyukai primata apakah tega menyantapnya mengingat truktur tubuh dan prilakunya yang mirip dengan manusia? Seperti yang pernah dilaporkan oleh ProFauna, banyak jenis kera ekor panjang atau beruk yang dijual menjadi santapan atau sebagai obat kuat. Misalnya otak monyet dipecaya sebagai obat kuat jika mereka memakan otaknya itu dengan keadaan monyet masih hidup. Seekor monyet dijepit diantara meja dengan badan di bawah dan kepala bagian otak berada di atas meja. Lalu bagian tengkorak dikuliti sehingga tampak bagian otak yang masih berdenyut, seperti kejadian di film "Hannibal, saat Prof. Hannibal Lecter (A. Hopkins) memperlihatkan otak sang ditektive untuk ia makan".
Otak monyet yang masih segar itu kemudian dimakan dengan arak. Tetapi khasiat sebenarnya belum bisa dibuktikan secara medis. Ada beberapa tempat di Indonesia yang menjual makanan ini seperti di Sulawesi, Medan, Lampung, Jawa Timur dan Jakarta Kota. Karena ada bangsa dan keturunan tertentu, (maaf) Cina yang masih menyukai makanan dan khasiat dari daging monyet. Padahal di negara asal penyuka makanan dari monyet ini telah dilarang untuk mengkosumsinya sebagai makanan. Tetapi masih dilakukan secara illegal begitupun di Indonesia, walaupun jenis monyet ini memang belum dilindungi undang-undang.
Seperti di beberapa tempat di Indonesia dan Cina, di Afrikapun ternyata terdapat kebiasaan mengkosumsi daging primata, walaupun daging primata harganya lebih mahal dibandingkan daging lainnya. Harga kepala Simpanse di Pasar Yaounde dua kali lebih mahal dari pada sapi atau kepala babi.
Tetapi daging primata ternyata jauh lebih disukai karena protein yang dikandungnya. Di pasar Kinshasa daging primata dijual segar maupun setengah matang.
Para pembeli mengkosumsinya dengan cara sederhana yaitu dibakar ataupun dipanggang. Pada restoran modern diolah dengan aneka bumbu seperti lada hitam, garam, ketumbar, dan cuka. Makanan itu diberi nama South African Biltong. Ini tidak hanya primata tetapi juga satwa liar lainnya. Larangan atas perdagangan satwa liar tidak bisa mengubah kebiasaan mereka untuk menyantapnya walaupun populasinya kian menurun. Apalagi selain dikosumsi domestik juga dieksport baik sebagai santapan, percobaan atau obat tradisional. Tahun 1998 saja dicatat 2000 gorilla dan 4000 simpanse dibantai, hasil pantauan Biosynergy Institute, AS. Apalagi menjelang 2003 ini mungkin jumlahnya lebih banyak lagi.

Makanan Yang Mematikan

Semua satwa adalah pembawa penyakit. Ada beberapa penyakit yang tidak berpengaruh pada satwa pembawa tetapi berpengaruh pada manusia. Seperti contohnya leptospirosis pada tikus, toksoplasma pada kucing, cacing pada anjing, hepatitis, herpes pada primata seperti orang utan, monyet dan beruk.

Afrika tidak hanya mencatat AIDS sebagai penyakit akibat virus yang berhubungan dengan baboon yang berasal dari Afrika Tengah tetapi terdapat pula ebola dan marburg yang juga berasal dari primata. Pada buku Hot Zone, Richard Preston menceritakan tentang virus ebola yang penyebarannya diduga berkaitan dengan monyet. Ia menulis "Di dekat sungai Obangui ada dua orang membeli daging, satu orang daging monyet dan lainnya antelope. Sampai dirumah daging tersebut dikosumsi. Esoknya pemakan monyet tersebut merasa tidak sehat lalu meninggal terjangkit Ebola Zaire ganas".
Tahun 1979, di Afrika meledak penyakit aneh yang berasal dari virus marburg. Virus itu masih bersaudara dengan ebola Sudan dan ebola Zaire. Nama Marburg diambil ketika pertama kali muncul di kota Jeman Tengah, 1967 di pabrik Behring Work produsen vaksin dengan bahan dasar sel ginjal monyet hijau dari Uganda.
AIDS, ebola, marburg melumatkan manusia dengan dasyat yang berasal dari primata, walau ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Timbul di Afrika karena memakan primata merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dibandingkan negara lainnya. Lalu apakah Indonesia yang kaya akan primata dan satwa liar dapat mengalaminya? Tentu saja jika lambat laun primata menjadi santapan yang lumrah seperti di Afrika bukan tidak mungkin penyakit primata akan menyebar cepat ke manusia. Bukankah sudah banyak orang Indonesia yang terkena herpes, hepatitis, toksoplasma karena memelihara primata dan satwa liar lainnya?

written by Diah Paramitha
©2003 ProFauna Indonesia

4 komentar:

Krishna Aditya mengatakan...

keren mba mith,keren....

Diah Paramitha mengatakan...

Thx Di ya Di....

Riffs09 mengatakan...

mgkn prlu diperbanyak penelitian mengenai dampak konsumsi satwa liar dan dipublikasikan supaya jelas ada dasar nya bukan mitos gak jelas belaka yaa..anyway..very very nice info mbak :))

Diah Paramitha mengatakan...

terima kasih komennya... sebenarnya ada banyak penelitian tentang apakah benar mitos yang berkembang ketika mengkosumsi satwa liar. Cuma ya sayangnya memang publikasi tentang hal itu sangat kurang.